About Us

Breaking News
Join This Site
Sejarah Lengkap Desa Astanajapura

Sejarah Lengkap Desa Astanajapura

Sejarah Lengkap Desa Astanajapura
CirebonAktual - Pada Kesempatan kali ini saya akan mengulasa Sejarah Lengkap Desa Astanajapura. informasi mengenai sejarah astanajapura asjap ini dikisahkan oleh para sesepuh desa asjap yang tulis oleh sekdes asjap. Sejarah Desa astanajapura ini  infoasjap kutip dari sdn1astanajapura.wordpress.com. Berikut Cerita Sejarah Desa Asjap

Pada awalnya Desa Astanajapura merupakan sebuah padukuhan yang berada di naungan wilayah Kerajaan Medang Kamulyan dengan rajanya bernama Handahiyang dan senopatinya Amuk Marugul yang peninggalan keratonnya sekarang masuk pada wilayah Desa Japura Kidul Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.

Senopati Kerajaan Medang Kamulyan, yakni Senopati Amuk Marugul sangat kental dengan orang yang sakti mandra guna, sehingga dengan kesaktiannya ia akhirnya lupa akan dirinya dan dalam mendampingi Raja Handahiyang memerintah dengan semena-mena dan dengan penuh keangkaramurkaan. Akhirnya di kerjaan tersebut terjadilah kehancuran moral.

Melihat keadaan yang demikian, maka raja Handahiyang berfikir serius dengan para petinggi kerajaan serta mengajak keponakannya yang juga putra mahkota pajajaran yakni Pangeran Gagak Lumayung untuk mencari solusi bagaimana menghentikan keangkaramurkaan yang timbul akibat ulah ki Amuk Marugul tersebut. Dan diperolehlah solusi atas musyawarah tersebut dengan cara mengadakan sayembara, yakni sayembara mencari jodoh anaknya (anak raja Handahiyang) karena pada saat itu anak sang raja sudah saatnya/umurnya sudah pantas berkeluarga.

Sayembara tersebutpun diumumkan keseluruh penjuru bangsa, Sang Raja Handahiyang berkenan mengadakan sayembara putrinya bahwa barangsiapa yang menang dalam sayembara akan dinikahkan dengan putrinya dan kelak dinobatkan sebagai penggantinya. Dan saat sayembara diadakan, Ki Amuk Marugul ikut serta dan dalam pertandingannya ia selalu menang, tidak ada tandingannya.

Dengan di dorong rasa tanggungjawabnya baik selaku kesatria juga sebagai keponakan sang raja dan keadaan masyarakat yang sudah bobrok moral akibat Ki Amuk Marugul, maka Pangeran Gagak Lumayung yang masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan Pangeran Sindang Garuda tidak terima dengan keadaan tersebut, maka beliau ikut serta bertanding di kancah sayembara itu dan diseranglah Senopati Amuk Marugul dan terjadilah perang tanding antara Senopati Amuk Marugul dengan pangeran Gagak Lumayung.

Dan dalam pertempuran tersebut Senopati Amuk Marugul dapat dipukul mundur sampai ia berlari ke daerah pesisir timur wilayah kerajaan yakni di Desa Rawaurip Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon dan berubah wujud menjadi Belut Putih, kemudian masuk ke dalam sumur yakni “Sumur Lumer” dan sumur tersebut sampai sekarang masih ada.

Keterangan lain bahwa Senopati Amuk Marugul tersebut larinya ke ujung pesisir Kabupaten Cirebon yakni di Kecamatan Losari Desa Tawangsari (sekarang) dan berubah wujud menjadi buaya putih, dan menurut cerita mistik yang berkembang jika ada penggedug Desa Astanajapura kesana maka muncullah buaya putih itu yang merupakan perwujudan Senopati Amuk Marugul yang belum puas atas kekalahan dari Pangeran Gagak Lumayung.

Dari kekalahan Senopati Amuk Marugul atas Pangeran Gagak Lumayung maka terbebaskanlah Kerajaan Medang Kamulyan dari kehancuran dan akhirnya dinobatkanlah Pangeran tersebut menjadi Raja di kerajaan tersebut tetapi nama kerajaan diganti menjadi “Kerajaan Japura”.

Nama Japura sendiri diambil dari ucapan Ki Nuhun yang ternyata adalah Sunan Gunung Jati ketika ia marah kepada masyarakat kerajaan kala itu, karena pada saat itu mereka Islam-nya penuh kepura-pura-an yakni kalau ada Ki Nuhun mereka pura-pura islam tetapi ternyata apabila tidak ada Ki Nuhun mereka berperilaku tidak Islami seperti pesta minum-minuman keras, makan daging babi dan lain-lain. Bahkan konon kepala babinya mereka gantungkan di serambi mesigitnya (=masjidnya) maka spontan Ki Nuhun Marah dengan kalimatnya bahwa Islam itu “Ja pura-pura” dan menendang masjid agar tidak di kotori oleh hal-hal yang dilarang agama sampai masjid itu terlempar ke laut kidul yakni di Nusakambangan, tepatnya di Kecamatan Pembantu Laut Kabupaten Cilacap dengan nama “Mesigit Sela” namun mesigit tersebut tidak digunakan untuk sholat jum’at tetapi hanya tempat ziarah saja.

Sedangkan sumur dari masjid itu sampai sekarang masih tetap berada di tempat semula yakni sekarang masuk dalam wilayah Desa Japura Lor Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon, dengan nama “Sumur Mesigit Lawas”.

Dari perkataan Ki Nuhun inilah yang kemudian menjadi nama sebuah kerajaan yakni “Kerajaan Japura”. Karena perlu diketahui pada saat jatuhnya kerajaan Medang Kamulyan oleh Pangeran Gagak Lumayung, pada saat itu pula pengaruh Islam yang dibawah oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) telah masuk ke wilayah tersebut dengan bukti beliau telah mendirikan “Mesigit” (=masjid) sebagai tempat pendidikan dan ibadahnya. Bahkan sampai dua kali yakni pertama “mesigit Lawas” yang ditendang ke pulau Nusakambangan, yang kedua “Mesigit Kramat” yang juga akhirnya disepak dengan sikilnya (=kakinya) karena menganggapnya bahwa mesigit (masjid) ditempat itu kurang manfaat, sehingga akhirnya tempat/blok itu dinamai “Blok Singkil” (Sekarang masuk wilayah Desa Astanajapura). Dan mesigit kramat tersebut bergeser ke timur, sehingga akhirnya tempat/blok tempat baru mesigit tersebut dinamai “Blok Karang Mesigit” (sekarang masuk wilayah desa Japurakidul) dan mesigitnya sekrang bernama “Masjid Al-Karomah”.

Sedangkan sumur dan bak air serta gayung dari Mesigit Kramat yang semuanya terbuat dari emas diinjak oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) sehingga semuanya hilang. Tetapi menurut cerita masyarakat sekitar bahwa sumur, bak dan gayung mesigit tersebut kadang muncul, namun kepada orang yang dikehendaki saja.

Dan setelah Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) wafat dan dengan semakin padatnya penduduk serta berkembang nya sistem tata pemerintahan yang dikembangkan oleh Ki Nuhun, maka wilayah kerajaan Japura di ubah menjadi bukan lagi tata kerajaan tetapi sistem padukuhan yang dikepalai oleh seorang Kuwu. Perubahan dan pemekaran tersebut terjadi pada tahun 1813 M, bahwa wilayah pusat pemerintahan kerjaan Japura dibagi tiga padukuhan yakni Padukuhan Astanajapura, Japura Lor dan Japura Kidul.

Menurut keterangan yang diperoleh dari para sesepuh bahwa nama “Astanajapura” sendiri diambil dari perpaduan kata “Astana” yang berarti Kuburan dan “Japura” yang berarti merujuk ke Kerajaan Japura karena dulu kerajaan Japura hanya mempunyai satu astana (=kuburan) yakni kuburan yang sekarang terbawa dalam wilayah Desa Astanajapura sehingga para raja dan penggedug/Ki Geden Japura seperti Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) di kala wafat di kuburnya di astana (=kuburan tersebut).

Sedangkan menurut keterangan lain bahwa “Astanajapura” diambil dari kata “astana” dan kata “asta” yang berarti “tangan/kekuasaan/penguasa” dan “Japura” berarti merujuk ke Kerajaan Japura. Hal ini karena katanya Raja Kerajaan Japura wafat dan dikuburnya yakni Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda). Sekarang padukuhan ini menjadi sebuah desa yakni “Desa Astanajapura”. Pangeran Sindang Garuda wafat di Astanajapura dan persemayaman terakhir di Maqbaroh Desa Astanajapura Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon-Jawa Barat.

Dalam memimpin pemerintahannya Pangeran Sindang Garuda didampingi oleh penasehat spiritualnya Syech Abdullah Iman yang kerap disebut oleh masyarakat Syceh Abdul Iman juga di dampingi oleh kaula yang sangat setia yaitu Siti Fatimah (=Nyi Ratu Ganda). Dan karena beliau-beliau ini walaupun memimpin pemerintahan juga telah masuk Islam dan berkapasitas sebagai ulama-ulama besar maka sekarang masyarakat banyak berziarah di tempat maqburoh guna mencari berkahnya.

Dalam perjalanan sistem pemerintahan padukuhan ini menjadi sebuah desa dengan nama Desa Astanajapura yang dikepalai oleh seorang Kuwu (Kepala Desa) dengan susunan kuwu dari yang pertama sampai sekarang yang kami ketahui sebagai berikut :

    Kuwu Bontar (1813 – 1840)
    Kuwu Nasitrem (1840 – 1858)
    Kuwu Teja (1858 – 1887)
    Kuwu Indris (1887 – 1917)
    Kuwu H. Mansur (1917 – 1925)
    Kuwu Asban (dikenal dengan Kuwu Jariyah) (1925 – 1941)
    Kuwu Taryan (1941 – 1947)
    Kuwu Kusen R. (1947 – 1948)
    Kuwu Karsih (H. Abdul Manan) (1948 – 1954)
    Kuwu Caya (1954 – 1965)
    Pj. Kuwu Mad Jai (1965 – 1967)
    Kuwu H. Moh. Kosim (1967 – 1985)
    Kuwu Asmudi (1985 – 1994)
    Pj. Kuwu Moh. Rusdi (1994 – 1995)
    Kuwu Rosidi Hasan (1995 – 2003)
    Kuwu Udin Khaerudin (2003 – 2010)
    Pj. Kuwu Mohamad Said, S.Ag. (2010 – 2011)
    Kuwu Misjabudin (2011 – 2014)
    Pj. Kuwu Fathurrohman, S.Pd.I (2015-Sekarang)

 Sekian Ulasan kali ini  Mengenai Sejarah Lengkap Desa Astanajapura, Semoga Sejarah Asjap Bermanfaat untuk yang sedang membutuhkan,